HUKUM TABUR TUAI DALAM POLITIK PRAKTIS DI PAPUA

Warta Tako
0

 

 Infografis Sebagai Ilustrasi Tabur Tunai


(Suatu Analisis: Pada Politik Pilkada di Provinsi Papua Pegunungan)


Oleh: Noel Wenda


WAMENA, 03 Oktober 2024. Pada dasarnya hukum tabur tuai berlaku di kehidupan sehari-hari terhadap siapapun dan dimanapun dengan situasi apapun---tidak bisa terlepas dari kehidupan setiap umat manusia. Hukum tabur tuai ini tidak terlihat secara nyata (fisik) tapi berlaku secara alamiah--mengalir  begitu saja. Siapa pun dia individu jika membuat hal kebaikan atau hal buruk dia pasti akan terima dampaknya dimana pun dia berada akan berlaku dan itu sudah menjadi sesuatu hal yang wajib.


Dalam konteks politik pilkada, terlebih khusus di delapan Kabupaten Provinsi Papua Pegunungan, tidak bisa terlepas dari berlakunya hukum tabur tuai ini, siapa pun dia pemimpin baik incumben (mantan bupati) atau calon baru, akan mengalami hukum ini dengan berjalan nya waktu dalam kehidupan dirinya dan masyarakat. Hukum ini merupakan ajaran untuk mendorong seseorang untuk berhati-hati dalam bertindak karena setiap perbuatan yang dilakukan suatu saat akan berdampak terhadap dirinya dalam waktu yang tidak ditentukan.


Calon Kepala Daerah Incumben 


Calon kepala daerah incumben (mantan bupati) selama masa kepemimpinan baik periode 5 tahun atau 10 tahun dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik akan menjadi tolak ukur saat ini dalam pencalonannya sebagai salah satu calon kepala daerah. Artinya masyarakat akan menilai hasil yang sudah dikerjakan selama periode kepemimpinan massa lalu. Ketika seseorang pemimpin menjalankan tugas dan fungsinya secara baik, benar dan jujur tentu masyarakat akan melihat dan mengukur apa saja yang telah diperbuat selama kepemimpinan nya---selama ia menjabat sebagai bupati atau wakil Bupati.


Jadi, jika seorang pemimpin yang mampu menabur kebaikan dalam kepemimpinannya dan pelayanan terhadap masyarakat tentu akan menjadi suatu "alaram pengingat" bagi mereka yang merasakan dan menikmati langsung dari hasil kepemimpinanya, sehingga hal itu akan mempengaruhi cara berpikirnya untuk menilai seseorang yang nantinya ia tentukan pada saat memilih dalam pilkada pada 27 Nomvember 2024 mendatang.


Masyarakat Papua Pegunungan yang masih terikat dengan pola budaya dan ajaran agama yang begitu kuat, dengan pola hidup dan tindakan yang suka memberi dan saling menolong antar sesama dalam kehidupan sosial, budaya akan menjadi pedoman bagi mereka untuk menilai pemimpin yang akan dipilih. Disini pentingnya, calon-calon kepala daerah wajib dan mampu kuasai budaya masyarakat terlebih khusus masyarakat Papua Pegunungan.


Bagi masyarakat, pengusaha, ASN atau kekuarga yang sudah merasakan kebaikan dari seorang pemimpin selama masa kepemimpinannya akan merasa hibah, kagum bahkan mungkin bangga kepada calon tersebut dan berupaya untuk mengajak masyarakat lain untuk menilai calon kepala daerah mereka dengan cara padang dan juga sebagai balas jasa kebaikan yang dirasakan sebagai bentuk timbal balik dan menjaga piring makan mereka.


Namun dalam teori hak asasi manusia (HAM) pemaksaan hak seseorang untuk dilibatkan memilih calon pemimpin sebelumnya karena adanya kedekatan oleh individu tentu merupakan pelanggaran hak asasi manusia dalam menentukan pemimpinnya dari perspektif pribadi karena kepentingan yang dinilai dari baik buruknya pemimpin tersebut dan tidak bisa dipaksakan oleh siapapun dalam penentuan hak pilih dalam teori demokrasi: hak memilih dan dipilih.


Hal ini berbeda dengan mereka yang tidak merasakan langsung dampak dari kepemimpinan seorang Incumben selama menjabat, mereka merasa tersakiti, diabaikan dan tersisih di daerah kelahiran mereka sendiri akibat kurang adanya perhatian pembangunan yang merata, tidak berpihak kepada mereka, tidak melihat kesejahteraan pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) ataupun ASN secara efektif, tidak menyentuh kebutuhan masyarakat melalui pelayanan publik dan masih terikat dengan budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.


Sikap dua kelompok masyarakat itu sebenarnya dalam pelayanan pemerintahan adalah hal yang normatif karena tidak adanya pemerataan pelayanan dan kurangnya inovasi serta pemimpin yang tidak peka melihat persoalan mendasar masyarakat dari sejumlah aspirasi yang pernah disampaikan selama kepemimpinan. Sehingga jika dikaitkan dengan hukum tadi jelas akan timbul pemberontakan ataupun perlawanan dari masyarakat yang menginginkan kepemimpinan yang baru yang bisa mendengar dan bisa lebih inovatif melihat pelayanan pemerintah penyelenggaraan pembangunan dan kepemimpinan kepada masyarakat.


Sikap masyarakat ini hal yang wajar dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun baik mereka yang sudah merasakan kebaikan dari pemimpin incamben dengan memaksa untuk harus mendukung pemimpin yang sering berbuat baik kepada mereka, namun mereka akan berada pada jalur mereka untuk melawan bahkan memilih untuk menentukan pemimpin yang lain, menurut mereka baik. Hal ini juga tidak terlepas dari dampak perbuatan yang dibuat oleh Kepala Daerah, Kepala OPD  dan juga ASN yang tidak menerapkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik hingga berdampak kepada perlawanan sebagai dampak dari hukum tabur tuai tersebut.


Bagaimana Dengan Calon Kepala Daerah Yang Baru?


Bagian ini berbeda bagi calon kepala daerah yang baru, mereka yang maju dengan ide dan gagasan sikap yang baru ini, tentu juga tidak terlepas dari penilaian masyarakat selama mereka hidup bersosialisasi dengan masyarakat, perbuatan baik mereka tetap menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam keseharian karena masyarakat Papua Pegunungan masih terikat dengan budaya dan juga agama tentang hukum kasih yang masih cukup kuat melekat dalam kehidupan masyarakat di Papua pegunungan.


Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah  bagi calon kepala daerah yang baru ingin maju sebagai bupati dan wakil bupati, gubernur dan wakil gubernur, berbeda dengan incumben (mantan kepala daerah). Calon kepala daerah yang baru akan menawarkan ide dan gagasan mereka untuk membangun 8 Kabupaten dan juga provinsi pegunungan dengan cara yang baru setelah melihat berbagai persoalan yang terjadi dari pemimpin terdahulu sebagai representasi masyarakat yang menjadi korban dalam kepemimpinan sebelumnya.


Hal ini tentu akan menjadi kampanye politik yang cukup manjur bagi calon kepala daerah yang baru sehingga mampu mengikat masyarakat sebagai korban pembangunan yang tidak merasakan dampak selama ini mengambil sikap untuk mendukung dan melawan calon terdahulu.


Kembali lagi kepada topik sebelumnya bahwa hal ini tidak terlepas dari hukum tabur tuai itu sendiri, ketika pemimpin terdahulu menabur hal kebaikan akan menjadi tolak ukur masyarakat untuk menilainya dan bisa membanding dengan pemimpin yang baru. Sementara kalau kepemimpinan nya berjalan buruk tentu akan menjadi 'bola panas' bagi masyarakat yang korban dari pembangunan maupun calon pemimpin yang baru sebagai alat kampanye yang efektif untuk mendapat dukungan masa seperti yang kita lihat saat ini di wilayah Papua pegunungan baik kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran.


Sikap Perlawanan Masyarakat Tidak Bisa Diangap Sebagai Lawan Politik


Munculnya sebuah sikap kritis dari masyarakat kepada pemimpin sebelumnya hingga adanya perlawanan tidak bisa dianggap sebagai sebuah respon politik dalam momen pilkada, tetapi hal ini merupakan hukum tabur tuai yang menjadi polemik dalam kehidupan mereka sebagai bentuk kesadaran moral menginginkan perlu adanya perubahan baik di lingkungan mereka maupun secara keseluruhan di suatu wilayah pemerintahan.


Seperti kita tahu sendiri bahwa pemimpin dan juga Kepala Daerah beserta ASN, adalah representasi dari masyarakat, kantor tempat pelayanan pemerintah, rumah dinas, fasilitas dinas semua disediakan masyarakat melalui keringat mereka lewat retribusi dan pajak yang di jadikan APBD oleh negara yang disediakan untuk pemimpin dan juga Aparatur Sipil Negara dalama menjalankan tugas pelayanan publik secara baik guna terciptanya masyarakat yang sejahtera dan hidup lebih baik.


Namun dalam kenyataannya sifat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) baik secara individu dan kelompok telah menjadi rahasia umum yang di rasakan dan didiskusikan oleh seluruh masyarakat yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Hal ini terjadi dan dilakukan secara sadar oleh individu maupun berjemaha oleh kepala daerah, pimpinan OPD maupun ASN  memangkas hak-hak masyarakat secara riil dan nyata di hadapan masyarakat dan benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat kecil.


Dampak Politik Bagi Kader Dan Simpatisan 


Kembali ke hukum tabur tuai, teladan, karakter serta pola kepemimpinan yang buruk telah berakar dan menjadi buah bibir bagi masyarakat sehingga secara lisan maupun tulisan tersampaikan dalam diskusi masyarakat maupun di platform media sosial. Hl ini secara cepat menyebar dan terus menjadi kampanye politik bagi lawan-lawan politik dan menjadi bumerang bagi pemimpin sebelumnya yang juga maju sebagai calon kepala daerah.


Sementara bagi para kader dan simpatisan dari calon pemimpin sebelumnya juga turut serta kena imbas dari perilaku mereka dalam kepemimpinan sehingga, pemikiran yang menjustifikasi para kader dan juga simpatisan calon incumben langsung terlihat dalam diri para kader lainnya sehingga hal ini membuat masyarakat merasa tidak yakin adanya pembaharuan dari para kader dan juga simpatisan karena dianggap sama sebagai bagian dari tim calon tersebut.


Melihat kehidupan budaya masyarakat pegunungan yang masih melekat dengan tradisi, adat serta agama yang masih menilai soal sikap baik dan buruk dari pemimpin sebelumnya jelas menjadi tolak ukur bagi mereka dalam menentukan pemimpin saat ini, hal ini juga terdampak bagi para kader dan simpatisan dari calon incamben (mantan kepala daerah).


Secara individu dari para kader dan simpatisan memang tidak semua  memiliki karakter dan juga kepemimpinan yang sama seperti calon incamben sebelumnya, namun keikutsertaannya dalam politik serta pernah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan secara otomatis membuat masyarakat menilai, bahwa mereka juga bagian dari kesatuan yang mungkin saja akan membawa dampak yang kurang baik bagi mereka sehingga para kader dan simpatisan juga terkena getahnya (imbasnya).


Mencari Jalan Keluar Sebagai Solusi Alternatif 


Dosa sosial dari calon incamben mestinya tidak menyatu dengan para kader dan juga tim sukses, perlu ada hitungan politik dan juga pengambilan keputusan pribadi untuk melihat masa depan dari masing-masing individu kader maupun tim sukses sehingga tidak terjustifikasi dalam polarisasi dosa masa lalu dari para pemimpin sebelumnya yang cukup melekat dalam diri mereka akibat dari dukungan politik.


Ketika individu kader maupun tim sukses menyadari hal ini sebagian dari mereka yang berpikir kritis harus berpikir untuk mengambil jalur politik dua kaki atau memilih untuk tidak terlibat dalam polarisasi dosa kepemimpinan masa lalu, karena ketika kita terlibat langsung maka hukum tabur tuai itu berlaku tidak hanya pada individu pemimpin tetapi juga merambat kepada para kader maupun Tim Sukses (timsus).


Dari sisi lain jika berbicara soal kemerdekaan individu seseorang, siapapun dia berhak untuk bebas terlepas dari hukum tabur tuai yang dimiliki orang lain, namun di satu sisi sebagai resiko dari politik hal ini menjadi hal yang wajar-wajar saja sebagai konsekuensi politik namun perlu juga diperhatikan soal proyeksi niat individu maupun kelompok untuk hadir sebagai pemimpin masa depan perlu mengambil sikap tegas untuk keluar dari dinamika ini agar kecurigaan terhadap individu tidak termakan dosa masa lalu pemimpin sebelumnya sehingga ketika politik berlalu bisa juga menjadi bagian dari sistim pembangunan tapi juga menjadi publik figur yang dihormati dan disegani oleh banyak orang. Penulis Jurnalis Papua



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)