![]() |
Seorang Diplomat Papua Barat Menjaga Alam Papua |
"Dengan segala kerendahan hati dan semangat akademis, saya serahkan artikel ini sebagai sebuah persembahan pemikiran. Semoga tulisan ini tidak hanya menjadi rangkaian kata, tetapi juga sebuah jembatan intelektual yang menghubungkan kita semua dengan denyut kehidupan di Tanah Papua."
ABSTRAK
Artikel ini menyajikan sebuah analisis etnozoologis yang mendalam mengenai tujuh spesies fauna endemik dan ikonik di Tanah Papua, dengan menempatkan hewan-hewan tersebut tidak hanya sebagai objek biologis, tetapi juga sebagai subjek yang sarat dengan muatan filosofis, spiritual, dan identitas bagi masyarakat adat Papua.
Melalui pendekatan kualitatif yang diperkaya dengan data kuantitatif ekstensif, penelitian ini menginvestigasi interkonektivitas antara keberlangsungan ekologis spesies seperti Burung Mambruk (Goura spp), Cendrawasih (Paradisaeidae), Kasuari (Casuarius casuarius), Kanguru Pohon (Dendrolagus spp), Dingiso (Dendrolagus mbaiso), Kuskus Waigeo (Spilocuscus papuensis), dan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta) dengan kelestarian warisan budaya takbenda.
Argumen utama yang diajukan adalah bahwa setiap ancaman terhadap populasi fauna ini yang saat ini menghadapi tekanan deforestasi dengan laju kehilangan tutupan hutan primer di Papua Indonesia mencapai 165.000 hektar pada tahun 2022 secara simultan merupakan erosi terhadap jiwa dan narasi peradaban masyarakat Papua. Dengan demikian, konservasi yang efektif menuntut sebuah paradigma holistik yang mengintegrasikan kearifan lokal dengan sains modern.
Kata Kunci:
Harmoni, Alam, Kehancuran, Peradaban, Etnozoologis
A. PENDAHULUAN
Sebuah Panggilan dari Jantung Peradaban Hijau. Tanah Papua, sebuah entitas yang melampaui sekadar demarkasi geografis, merepresentasikan paru-paru terakhir bagi planet ini, sebuah laboratorium evolusi raksasa yang menaungi lebih dari 50% keanekaragaman hayati Indonesia di atas lahan yang hanya mencakup 22% dari total daratan negara.
Di dalam matriks ekologis yang kompleks ini terdiri dari hutan perawan yang belum terjamah, sungai-sungai yang mengalirkan kehidupan, hingga puncak-puncak gunung yang dianggap sakral bersemayamlah para penjaga sejati tanah ini: hewan-hewan etnis.
Mereka bukanlah sekadar fauna; mereka adalah arkip sejarah alam, kustodian nilai-nilai luhur, dan manifestasi fisik dari sebuah kosmos di mana manusia dan alam menyatu dalam sebuah simfoni harmoni. Kehilangan mereka bukan sekadar catatan kepunahan dalam jurnal ilmiah; itu adalah robeknya lembaran-lembaran kitab kehidupan orang Papua, sebuah senyap yang memilukan dalam lagu kebudayaan mereka.
Melalui penjelajahan narasi tujuh makhluk agung ini, kita diajak untuk merasakan, memahami, dan pada akhirnya, turut memikul amanah untuk melindungi warisan peradaban ini.
B. Kajian dan Pembahasan Nilai-nilai Alam Leluhur
1. Burung Mambruk (Goura spp) Manifestasi Keanggunan dan Kesetiaan Monogamis
Burung Mambruk, dengan mahkota renda biru yang megah, berjalan di lantai hutan dengan keagungan seorang bangsawan yang merasakan setiap getaran tanah leluhurnya. Spesies ini, yang dapat mencapai bobot hingga 2,5 kilogram dan panjang 75 sentimeter, adalah perwujudan ketenangan di tengah rimba.
Siklus hidup mereka adalah sebuah pelajaran mendalam tentang komitmen; sebagai makhluk monogami, pasangan Mambruk akan berkolaborasi secara khidmat, bergantian mengerami satu-satunya telur berharga mereka selama kurang lebih 28 hingga 30 hari, sebuah pengorbanan yang mencerminkan nilai kesetiaan absolut.
Namun, keindahan ini berada di bawah ancaman yang nyata. Status konservasinya yang terdaftar sebagai "Hampir Terancam" (Near Threatened) oleh IUCN adalah akibat dari perburuan yang tak terkendali dan hilangnya habitat hutan dataran rendah yang menyusut rata-rata 1-2% per tahun.
Dalam setiap ukiran dan motif adat yang terinspirasi dari mahkotanya, tersimpan sebuah doa dan kepedihan; sebuah harapan agar keanggunan ini tidak hanya tersisa sebagai artefak, melainkan tetap hidup sebagai penjaga hutan yang setia.
2. Burung Cendrawasih (Paradisaeidae) – Tarian Sakral Keindahan Ilahi
Menyaksikan tarian ritual sang Cendrawasih jantan adalah sebuah pengalaman transendental, seolah menyaksikan fragmen surga yang jatuh ke bumi Papua. Dari sekitar 42 spesies dalam famili Paradisaeidae, setidaknya 38 diantaranya menjadikan Pulau Nugini sebagai panggung utama mereka, masing-masing dengan koreografi dan kostum surgawi yang unik.
Tarian ini, sebuah pertunjukan visual yang memakan waktu bertahun-tahun untuk disempurnakan oleh sang jantan, bukanlah sekadar insting biologis untuk menarik betina. Bagi banyak dari lebih dari 250 suku di Papua, ia adalah simbol kemuliaan, status, dan hubungan langsung dengan dunia roh. Namun, ironisnya, keindahan inilah yang nyaris merenggut nyawanya.
Pada awal abad ke-20, lebih dari 80.000 kulit Cendrawasih diekspor setiap tahunnya untuk industri mode Eropa. Meskipun kini dilindungi sepenuhnya oleh hukum Indonesia, ancaman deforestasi dan perdagangan ilegal terus menghantui.
Setiap helai bulunya yang digunakan (kini dengan regulasi ketat) dalam mahkota kepala suku adalah pengingat akan sebuah kemegahan yang harus dijaga dengan pengorbanan, sebuah keindahan ilahi yang menuntut tanggung jawab duniawi dari kita semua.
3. Burung Kasuari (Casuarius casuarius) Perwujudan Kekuatan dan Resiliensi Ekologis
Kasuari adalah raksasa sunyi yang melangkah dengan kekuatan purba, seorang pejuang soliter yang menjaga integritas hutan. Dengan tinggi mencapai 1,8 meter dan bobot hingga 60 kilogram, ia adalah burung terbesar ketiga di dunia, yang dilengkapi cakar sepanjang 12 sentimeter yang mampu menjadi senjata mematikan.
Kemampuannya berlari hingga 50 km/jam melintasi vegetasi hutan yang paling lebat adalah metafora dari resiliensi dan kegigihan. Namun, perannya yang paling krusial adalah sebagai "petani hutan" ia merupakan spesies kunci (keystone spesies) yang menyebarkan biji dari lebih dari 240 spesies tanaman hutan, memastikan regenerasi dan kesehatan ekosistem.
Ketika seorang pemuda dari suku Asmat memandang kasuari, ia tidak hanya melihat seekor burung ia melihat cerminan dari keberanian dan kekuatan yang harus ia miliki sebagai pelindung komunitasnya.
Penurunan populasinya, yang kini berstatus "Sedikit Terancam" (Least Concern) namun terus menurun, adalah sebuah alarm bahwa kekuatan penjaga hutan ini sedang terkikis, dan bersamanya, vitalitas hutan itu sendiri.
4. Kanguru Pohon (Dendrolagus spp) – Meditasi Sunyi di Kanopi Hutan
Jauh di atas lantai hutan, di antara selimut kabut pegunungan, hiduplah sang filsuf arboreal, Kanguru Pohon. Berbeda dengan kerabatnya di sabana Australia, kehidupannya adalah sebuah meditasi yang lambat dan penuh kesadaran di ketinggian.
Dari 14 spesies yang diketahui, sebagian besar mendiami hutan pegunungan Papua pada ketinggian 1.000 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut. Ekornya yang panjang bukan untuk melompat, melainkan sebagai penyeimbang dalam pergerakan yang penuh kehati-hatian, sebuah pelajaran tentang keseimbangan dalam hidup.
Sifat nokturnal dan soliter mereka merefleksikan ketenangan batin dan kemandirian. Bagi masyarakat adat di pegunungan, bertemu dengan Kanguru Pohon adalah sebuah pertanda baik, sebuah momen spiritual yang mengingatkan pada ketekunan dan kedamaian.
Namun, kedamaian ini terusik. Setidaknya 12 dari 14 spesies ini terancam punah akibat perburuan dan hilangnya habitat, dengan beberapa spesies seperti Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri) berada di ambang kepunahan kritis, mungkin hanya tersisa kurang dari 50 individu.
5. Dingiso (Dendrolagus mbaiso) – Inkarnasi Leluhur di Puncak Sakral
Di ketinggian yang menusuk langit, di atas 3.250 hingga 4.200 meter di Pegunungan Sudirman, hiduplah Dingiso, sebuah misteri yang berjalan. Ditemukan oleh sains pada tahun 1994, makhluk ini telah lama hidup dalam kosmologi suku Moni, bukan sebagai hewan, melainkan sebagai mbaiso, atau "leluhur yang dihormati".
Pola bulu hitam-putihnya yang khas dan kebiasaannya berjalan di tanah dengan kedua kakinya memberikan aura mistis yang mendalam. Bagi suku Moni, larangan adat untuk memburu atau mengganggu Dingiso adalah hukum tertinggi, sebuah praktik konservasi berbasis kearifan lokal yang telah berlangsung selama ribuan tahun.
Keberadaan Dingiso adalah bukti hidup dari hubungan resiprokal antara manusia dan alam, di mana garis antara keduanya menjadi kabur. Ancaman terbesar baginya bukanlah perburuan oleh masyarakat lokal, melainkan perubahan iklim yang mengancam habitat alpinnya yang rapuh. Melindungi Dingiso berarti melindungi sebuah kisah suci tentang asal-usul dan identitas sebuah suku.
6. Kuskus Waigeo (Spilocuscus papuensis) – Penjaga Malam Pembawa Mimpi
Ketika malam menyelimuti hutan-hutan di Kepulauan Raja Ampat, sepasang mata besar yang memantulkan cahaya bulan muncul dari lubang pohon. Itulah Kuskus Waigeo, marsupial nokturnal yang gerakannya selembut mimpi.
Dengan ekor prehensil yang berfungsi sebagai tangan kelima, ia menjelajahi kanopi dengan keanggunan senyap, mencari buah dan nektar. Dalam banyak cerita rakyat, Kuskus dianggap sebagai pembawa pesan dari dunia mimpi, makhluk yang menghubungkan alam sadar dan bawah sadar.
Kantung sang betina, tempat ia merawat dan melindungi anaknya yang sangat kecil, adalah simbol universal dari kasih keibuan dan perlindungan tanpa syarat. Keberadaannya yang terbatas hanya di beberapa pulau menjadikan populasinya sangat rentan terhadap fragmentasi habitat dan introduksi predator.
Setiap individu Kuskus yang hilang adalah hilangnya satu potensi mimpi, satu pengingat akan kelembutan yang harus kita jaga di dunia yang semakin keras.
7. Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta) – Penjaga Keseimbangan Dua Dunia
Di perairan keruh sungai-sungai selatan Papua, hiduplah sebuah anomali evolusioner, Labi-labi Moncong Babi. Ia adalah satu-satunya penyu air tawar yang memiliki kaki depan bersirip seperti penyu laut, sebuah jembatan biologis antara dua alam.
Moncongnya yang menyerupai babi adalah alat sensorik yang luar biasa untuk menemukan makanan di dasar sungai. Kehidupannya yang amfibi menghabiskan sebagian besar waktu di air namun harus naik ke daratan untuk meletakkan 7 hingga 39 telur di tepian pasir adalah pelajaran filosofis tentang keseimbangan.
Bagi budaya lokal, ia adalah penjaga gerbang antara dunia air dan dunia darat, antara alam nyata dan alam gaib. Namun, keunikannya ini juga menjadi kutukan. Spesies ini adalah salah satu penyu yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di dunia, baik untuk daging maupun sebagai hewan peliharaan eksotis.
Puluhan ribu individu diselundupkan setiap tahunnya, mendorong populasinya ke status "Terancam" (Endangered). Melindunginya berarti menjaga keseimbangan ekosistem sungai dan keseimbangan kosmos budaya itu sendiri.
Refleksi dan Sintesis Mewarisi Amanah, Melindungi Peradaban
Setiap kisah dari ketujuh makhluk ini bukanlah narasi yang terpisah, melainkan untaian benang yang merajut permadani kehidupan bio-kultural Papua.
Mereka adalah saksi bisu dari jutaan tahun evolusi dan ribuan tahun peradaban manusia. Ketika laju deforestasi di Papua dan Papua Barat terus mengancam, dengan estimasi kehilangan tutupan pohon mencapai 64,1 ribu hektar pada tahun 2023 saja, kita tidak hanya kehilangan meter kubik kayu atau potensi serapan karbon.
Kita sedang membakar sebuah perpustakaan agung yang berisi pengetahuan ekologis, kearifan spiritual, dan identitas kemanusiaan. Krisis ini adalah krisis eksistensial ganda: kepunahan biologis yang berjalan seiring dengan kepunahan budaya (cultural extinction).
Menjaga mereka adalah sebuah tindakan iman yang transenden, sebuah manifestasi cinta tanah air yang paling murni, dan sebuah pengakuan hormat kepada Sang Pencipta yang telah menitipkan surga terakhir ini di pundak kita.
Mereka adalah pewaris sejati bumi ini; kita, dengan segala kerendahan hati, hanyalah penumpang yang diberi amanah untuk memastikan kisah mereka terus bergema bagi generasi yang akan datang.
Referensi:
[https://www.iucnredlist.org/species/45014468/177963334](https://www.iucnredlist.org/species/45014468/177963334)
[https://www.nationalgeographic.com/animals/birds/facts/birds-of-paradise](https://www.nationalgeographic.com/animals/birds/facts/birds-of-paradise)
[https://animalia.bio/southern-cassowary](https://animalia.bio/southern-cassowary)
[https://www.worldwildlife.org/species/tree-kangaroo](https://www.worldwildlife.org/species/tree-kangaroo)
[https://www.iucnredlist.org/species/6434/21956298](https://www.iucnredlist.org/species/6434/21956298)
[https://www.iucnredlist.org/species/20638/21950153](https://www.iucnredlist.org/species/206
38/21950153)
[https://www.iucnredlist.org/species/3898/21623511](https://www.iucnredlist.org/species/3898/21623511)