HARIS FATHIA KRITIK KEMANUSIAAN PAPUA DIKRIMINALISASI HUKUM

Warta Tako
0
Gambar Bebaskan Fatia Haris 

Oleh Marselino Wegobi Pigai


Siapa yang tidak mengenal sosok dua orang aktivis kemanusiaan yang berkacamata. Mereka akrab dipanggil Haris dan Fathia (lengkapnya Haris Azhar & Fathia Maulana Maulidiyanti). Haris merupakan koordinator dan pendiri Lokataru, organisasi yang konsen di bidang hak asasi manusia. Sebelumnya, Haris pernah memimpin KontraS sejak 2010 sampai 2016. Sementara Fathia merupakan koordinator Kontras yang sementara ini memimpin sejak 2020. 


Kacamata yang bergantung pada depan matanya tak membuat mereka kekaburan dan kehilangan penglihatan. Mata mereka masih jernih dari seorang manusia yang rendah intensitas penglihatannya. Karenanya mereka dengan jernih memandang keadaan kemanusiaan Papua meskipun jarak memakan ribuan mil dari keberadaan mereka. Mata mereka tajamnya seperti seekor burung elang. Bukan sepertinya burung Garuda yang kehilangan mata kemanusiaan di Papua.


Mereka tidak hanya jernih melihat keadaan Papua, tapi juga sangat vokal dan bergaun selama ini. Setiap episode projek diskusi, wawancara ataupun kegiatan lain, yang konteksnya bicara mengenai keadaan di Papua, Haris yang berkacamata ini terus mereproduksi narasi-narasi kemanusiaan kontekstual dan relevan. Indonesia lawyer clubs dan media lainnya, disana pria Kacamata non Papua ini bicara tentang Papua. 


Tapi sayangnya, pria Kacamata ini mendapatkan tamparan luar biasa pada mulutnya, setelah ia memfasilitasi dan menghadirkan koalisi organisasi sipil mengekspos dan presentasi melalui diskusi hasil dokumentasi telaah kritis yang berjudul "Ekonomi politik dan penempatan militer di Papua Kasusnya Intan Jaya. Melalui kajian itu berusaha menjernihkan kebenaran dibalik konflik senjata yang mengemuka di sana. Untuk mendikte hasil kajian itu, koalisi organisasi sipil diwakili sebagai pembicaranya; Fathia dan direktur Walhi Papua (Coba di cek namanya) hadir berdiskusi di Channel YouTube pribadinya Haris.


Dalam diskusi melalui Chanel pribadi pria Kacamata itu, menyebutkan nama seorang pejabat publik dengan penyebutan "Lord Luhut" alias Menteri Investasi dan Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Konotasi "Lord Luhut" diterjemahkan secara negatif sebagai delik hukum untuk dilaporkan ke polisi sebagai kasus pencemaran nama baik. Haris dan Fathia kini sudah sedang mengikuti dan berujung pembacaan putusan hakim pada Senin 08 Januari 2023.


Haris dan Fathia menyebut Lord Luhut, berdiri dari alasannya pada isi riset cepat yang sudah dipublikasikan pada beberapa website resmi organisasi sipil yang tergabung melakukan riset atas situasi di Intan Jaya Papua. Hasil riset itu tidak terang-benderang menyebutkan adanya pejabat publik tersebut di balik bisnis dan konflik. Tetapi ada relasi yang terselubung dengan keadaan praktek bisnis kaki tiga militer. Berkaitan dengan wacana tambang Blok Wabu yang dimunculkan sejak tahun 2021. Urusan ekonomi ini tidak begitu nampak, kecuali harus disembunyikan oleh narasi-narasi politik yang mengemuka.


Untuk Kaum Tak Bersuara


Papua itu rumah manusia hitam yang terus menerus disunyikan suaranya. Kesunyian suaranya paling subur adalah situasi kemanusiaan. Situasi kemanusiaan itulah yang dipresentasikan melalui kajian berbasis ilmiah. Dari penerbit kajian sudah disampaikan pada ruang publik tetapi pihak-pihak berwajib belum ada komentar dan mendudukkan sebagai tema pemantik urgen yang harus dipersoalkan dan upayakan resolusi yang berpendekatan humanis di Papua Intan Jaya.


Haris dan Fathia berusaha mendudukkan laporan kajian itu sebagai satu risalah yang berbasis kepada pro kemanusiaan. Kemanusiaan Papua yang belum membumi dan didudukkan dalam narasi-narasi dan urusan pejabat publik (negara) yang berkewajiban melindungi, memenuhi dan menghormati. Peran negara yang terabaikan itulah yang disambung lidahkan Haris dan Fathia. Mereka berdua mengambil resiko dan tanggung jawab bersuara dengan memanfaatkan Channel YouTube pribadinya. 


Haris dan Fathia melepaskan ketakutan ancaman dan tantangan bicara situasi kemanusiaan. Mereka menjadi alat penerjemah situasi kemanusiaan di Papua Intan Jaya. Situasi kemanusiaan Papua yang selama ini dipandang sebelah mata oleh pemerintahan termasuk pejabat publik. Ada banyak situasi urgen dan fakta menurunnya penegakan hukum dan hak asasi manusia. Ribuan masyarakat sipil mengungsi, mendapatkan pembatasan kegiatan berkumpul dan bercerita, pembunuhan di luar hukum seperti pendeta Yeremia Zanambani bahkan termasuk operasi militer disebut sebagai operasi militer ilegal. 


Ironisnya mereka digiring ke dalam ranah hukum. Ada apa dibalik melengserkan mereka kedalam ranah hukum. Tidak salah berasumsi bahwa mendapatkan bantahan atas pembicara kebenaran terhadap keadaan kemanusiaan di Intan Jaya. Selain itu, dimungkinkan ada upaya pemenjaraan suara-suara kritis dan responsif kemanusiaan di Papua. Atau menekan suara vokal mereka dengan melekatkan 'gelar kriminal'. Dengan itu, meloloskan praktek-praktek kekejaman kemanusiaan yang berjalan selama ini. Bahkan bisa saja meloloskan agenda lainnya. Dimana dibalik penciptaan kemanusiaan yang buram, menyelipkan agenda ekonomi. 


Kegigihan membela kemanusiaan Papua tidak pernah merosot selama ini. Sekalipun dirinya dilibatkan dalam proses sidang, tidak membuat suaranya menghilang. Nyali mereka terus berdiri sepanjang setiap persidangan yang dihadapi. "Buat Anda semua yang menganggap saya menangis, saya bukan minta ampun, silahkan hukum saya, saya menganggap panggung ini adalah tempat saya untuk menyuarakan. Kalau Anda menangis karena ngetawain orang Papua, Anda keluar dari persidangan, saya tidak takut siapapun dengan siapa pun bicara tentang keadilan dan kemanusiaan, sudah sering saya mau ditembak", kata Haris dalam satu kesempatan ruangan sidang.


Sebagai pembela kemanusiaan, sudah lama jatuh cinta pada keadaan kemanusiaan Papua. Oleh karenanya mereka berusaha hadir di Blok Wabu yang jauh. Meskipun Intan Jaya sebagai lahan konflik yang berkecamukan senjata yang brutal, agresif dan tidak memisahkan siap lawan dan masyarakat sipil. "Mereka naik ke gunung dua jam. Tidak ada yang mengurusi pengungsi-pengungsi itu dan ada Freeport di sana, ada tentara" Kata Haris dalam satu kesempatan ruangan sidang.


Panggilan dari Meja Pengadilan


Haris dan Fathia harus diapresiasi bukannya ditempatkan sebagai pelaku kriminal dengan urusan hukum, apalagi dipenjara. Tapi faktanya, mereka dikambinghitamkan pasal pencemaran nama baik. Ketika Haris dan Fathia digiring proses hukum, maka negara berusaha menyekang kebebasan berekspresi dan secara tidak langsung mengajak pembela kemanusiaan tidak peduli dengan situasi kemanusiaan di Papua. Di sisi lainnya, negara membiarkan hasil temuan yang berimplikasi keterlibatan aktor yang menciptakan situasi kemanusiaan yang buruk. Maka impunitas sudah pasti bertumbuh kembang subur.


Setelah Haris dan Fathia mengikuti setiap fase persidangan, tanggal 8 Januari 2024 merupakan fase akhir. Hasil putusan merupakan puncak perjuangan mereka berdua dalam mempertahankan suara kebenaran. Suaranya kini sedang digiring kedalam ruang kriminal. Maka status pembela kemanusiaan terancam dengan pidana penjara selama 4 tahun. Resikonya akan mendapatkan gelar kriminal. 


Dalam kedudukan perkara itu, Haris dan Fathia sedang menunggu suara-suara pembelahan dan pembebasan dari kita semua. Apalagi orang Papua adalah sebuah kewajiban sekaligus mencintai mereka berdua. Mereka berdua sudah lama mencintai kemanusiaan dengan menyerahkan seluruh nyawa untuk membelah habis-habisan kepada kemanusiaan Papua. Mereka tidak berharap emas, dan kekayaan Papua seperti orang lain termasuk para konglomerat dan oligarki. Jika mereka memberikan cinta, maka mengapa kita tidak memberikan cinta kepada mereka.


Salah satu bentuk kita membela adalah dengan cara apapun yang bisa mempengaruhi kebijakan putusan hakim (cek putusannya). Amnesty International Indonesia menyediakan gambar kampanye dukungan membebaskan Haris dan Fathia. Silahkan mengakses melalui link berikut; https://s.id/BebaskanFatiaHaris. Terlepas kampanye gambar, bisa juga terbitkan tulisan desakan.


Penulis adalah aktivis kemanusiaan dan sosial Mantan koordinator Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Papua periode 2021-2023

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)