Bahasa Daerah dan Paradoks Pemerintahan di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Pegunungan

Warta Tako
0

Kamus Bahasa Daerah " Akumi Inone Mbanak Ligi Negen Ginum Wurik"

WAMENA - Kabupaten Jayawijaya secara hukum dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907). Undang-undang ini menandai pengakuan resmi Negara terhadap struktur administratif di wilayah Papua, termasuk Jayawijaya, sebagai bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Namun, ironisnya, sejak lebih dari setengah abad setelah pengesahan undang-undang tersebut, bahasa-bahasa daerah di Kabupaten Jayawijaya belum juga menunjukkan tanda-tanda keselamatan dan pengakuan yang memadai. Bahkan, tren yang terjadi justru menuju ambang kepunahan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis dan menyentuh kesadaran kolektif: Ada apa di balik semua ini?


Padahal, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang melarang pelestarian bahasa daerah. Sebaliknya, UUD 1945 Pasal 32 ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa:

"Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional." Artinya, tidak ada pelanggaran hukum apa pun jika masyarakat Papua memperjuangkan pelestarian bahasa ibu mereka. Maka wajar jika kita mempertanyakan: mengapa hingga hari ini, lebih dari 50 tahun setelah integrasi, belum ada langkah sistematis dari pemerintah untuk menyelamatkan bahasa-bahasa daerah di Jayawijaya?


Lebih mengecewakan lagi, bahkan setelah hadirnya Otonomi Khusus Jilid I (2001) dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Otsus Jilid II yang memberikan kewenangan lebih besar kepada orang asli Papua dalam urusan pemerintahan dan kebudayaan—nasib bahasa daerah tetap diabaikan.


Apakah masyarakat Papua pernah berbuat salah kepada negara? Rasanya tidak ada kesalahan historis dalam proses integrasi. Rakyat Papua tidak mengangkat senjata saat kekuasaan kolonial berganti menjadi kekuasaan nasional. Mereka tidak menyimpan dendam kolektif terhadap siapa pun. Maka sangat wajar jika muncul kekecewaan dan perasaan ganjil ketika melihat bahasa-bahasa ibu kami terus menghilang, tanpa upaya penyelamatan yang serius dari pemerintah—baik pusat maupun daerah.


Lebih menyedihkan lagi, di Kabupaten Jayawijaya, para pemegang kekuasaan hari ini sebagian besar adalah putra-putri asli Papua sendiri. Namun, perhatian terhadap bahasa daerah tetap sangat minim. Apakah karena tekanan sistem birokrasi yang tidak berpihak? Apakah karena telah lupa akar budaya sendiri? Ataukah karena ketiadaan visi kebudayaan yang mendalam dalam pembangunan?


Bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah identitas, sejarah, dan jiwa dari suatu bangsa. Jika bahasa punah, maka cara berpikir, nilai, dan pandangan hidup suatu suku juga akan punah. Di Jayawijaya, setiap bahasa lokal menyimpan sistem pengetahuan, nilai moral, dan warisan spiritual yang tidak tergantikan. Kehilangannya bukan sekadar kehilangan kosa kata, tapi kehilangan jatidiri kita sendiri.

Kini, bukan saatnya lagi hanya bertanya “ada apa?”, tetapi sudah saatnya bersama-sama bertanya:

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Siapa yang harus bertanggung jawab?”

“Dan bagaimana kita mulai menyelamatkan bahasa daerah kita?”


Pelestarian bahasa daerah bukanlah beban, melainkan tanggung jawab moral dan konstitusional. Ini adalah panggilan sejarah bagi pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan generasi muda Papua untuk bangkit menjaga warisan leluhur mereka.


Pesan Moril dan Permohonan Dukungan Dana untuk Penyelamatan Bahasa Daerah di Kabupaten Jayawijaya


Kepada Yth.

Bapak Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya


Dengan hormat,


Saya, Tabenak Withen Kolago, mewakili Perkumpulan Perlindungan dan Pengembangan Bahasa Daerah Papua (PPPBDP), menyampaikan seruan hati nurani ini kepada Bapak berdua sebagai anak adat, anak budaya, dan anak Injil dari tanah Wamena.


Sejak Kabupaten Jayawijaya didirikan secara resmi melalui UU Nomor 12 Tahun 1969, hingga saat ini di tahun 2025, belum ada satu pun bahasa daerah yang berhasil diselamatkan secara resmi oleh pemerintah daerah. Padahal, anggaran pelestarian bahasa daerah tersedia di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan maupun bidang sosial-budaya Bappeda.


Hari ini, kami tidak datang membawa keluhan, tapi membawa harapan dan ajakan untuk bertindak. Kami mohon dukungan Bapak berdua untuk mengambil tanggung jawab sejarah dan budaya ini, agar generasi Balim tidak mewarisi kehampaan.


Saat ini, lembaga kami telah memulai proses pendataan dan penelitian awal terhadap 4 bahasa daerah yang terancam punah, yaitu:


1. Bahasa Hubula Bawah

1. 15 huruf alfabet

2. 10 huruf konsonan

3. 5 huruf vokal

2. Bahasa Hubula Tengah

1. 17 huruf alfabet

2. 12 huruf konsonan

3. 5 huruf vokal

3. Bahasa Hubula Atas

1. 15 huruf alfabet

2. 10 huruf konsonan

3. 5 huruf vokal

4. Bahasa Walak

1. 15 huruf alfabet

2. 10 huruf konsonan

3. 5 huruf vokal

Sementara Bahasa Lani telah berhasil kami dokumentasikan dalam bentuk kamus, namun empat bahasa lainnya belum dapat kami rampungkan karena keterbatasan dana dan dukungan logistik.


Dengan segala kerendahan hati, kami memohon kepada Bapak Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya untuk:


Memberikan dana hibah khusus kepada PPPBDP guna menyelesaikan proses dokumentasi, penelitian, dan publikasi empat bahasa daerah tersebut.


Ini bukan sekadar proyek budaya, tapi adalah bentuk pelaksanaan amanat konstitusi, penghormatan terhadap UU Otonomi Khusus, dan perlindungan terhadap hak-hak budaya masyarakat adat Papua.

Bapak Bupati dan Wakil Bupati yang kami hormati,

Kami yakin, dengan kepemimpinan Bapak yang lahir dari rahim tanah Papua, yang mengenal nilai adat dan spiritualitas Injil, maka langkah ini bukan sekadar program, melainkan misi penyelamatan identitas dan kehormatan Papua Pegunungan.


Inilah saatnya sejarah mencatat bahwa di masa kepemimpinan Bapak berdua, bahasa daerah Jayawijaya tidak punah, tetapi justru hidup Kembali dalam buku, dalam pendidikan, dan dalam kehidupan generasi muda.

Jangan biarkan kami dikenang sebagai generasi yang membiarkan warisan nenek moyangnya hilang tanpa jejak.


Demikian pesan ini kami sampaikan dengan penuh harapan dan iman.

Tuhan memberkati niat baik dan kepemimpinan Bapak berdua.


Hormat kami,

Tabenak Withen Kolago

Ketua PPPBDP (Perkumpulan Perlindungan dan Pengembangan Bahasa Daerah Papua).



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

Advertisement