![]() |
Buku Oleh Rianti D. Manullang |
PAPUA - Atas urusan pekerjaan membawa saya ke Merauke setahun yang lalu. Sampai di perbatasan Papua Nugini tapi tidak sampai Digoel. Masih jauh jarak ke sana dari kota. Rekan-rekan yang aktif pemberdayaan kampung punya cerita memilik kehidupan di Digoel. Tidak banyak perubahan kehidupan di sana sampai sekarang semenjak Digoel dijadikan camp pembuangan tahanan politik.
Di sini saya dapati sebuah buku, dengan judul asli De vlinders van Boven-Digoel mengupas praktik kolonialisme yang menuduh ke dalam sejarah kecil dari kehidupan sehari-hari. Kupu-kupu Boven Digoel adalah judul yang puitik sekaligus dramatik.
Alicia Schrikker, sejarawan kolonial dari Universitas Leiden, menghadirkan De vlinders van Boven-Digoel sebagai upaya dekonstruksi terhadap historiografi kolonial yang terlalu lama dikisahkan dari sudut pandang kekuasaan. Alih-alih memusatkan perhatian pada narasi besar, tentang perang, raja, gubernur, atau struktur pemerintahan, Schrikker justru mengarahkannya pada kisah-kisah kecil. Keseharian bocah yang dijual sebagai budak, tukang pos yang dipenjara karena kesalahan alamat, hingga tahanan politik di kamp Boven Digoel yang dipaksa menangkap kupu-kupu.
Fragmen-fragmen ini sekilas tampak remeh, namun justru di sanalah kolonialisme menampakkan wajah yang paling telanjang. Banal, absurd, dan tanpa nurani. Schrikker menyingkapkan, kekuasaan kolonial tidak lagi hadir dalam pertempuran besar atau kebijakan raksasa, melainkan menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari, memerintah tubuh orang-orang kecil, dan menciptakan sistem yang terwujud melalui mekanisme sepele.
Boven Digoel, kamp penjaga politik di pedalaman Papua, sejak lama simbol jadi mengucilkan kolonial terhadap gerakan antikolonial. Namun Schrikker menemukan detail yang lebih halus, yakni arah seorang penjaga Belanda kepada penjaganya agar menangkap kupu-kupu. Perintah ini, di satu sisi, tampak seolah ringan, bahkan indah. Namun di sisi lain, ia merupakan bentuk pemikiran politik, menjinakkan manusia yang menolak persetujuan, mengalihkannya dari ide besar perjuangan ke aktivitas yang absurd.
Kupu-kupu dalam narasi Schrikker adalah metafora ambivalen. Keseharian yang rapuh sekaligus indah, bebas sekaligus mudah ditangkap. Ia melambangkan harapan kemerdekaan yang berusaha dipatahkan, namun juga menandakan daya hidup manusia untuk tetap mencari makna bahkan di ruang penjara kolonial.
Salah satu kekuatan buku ini adalah penampilannya yang banalitas. Di titik 80 tahun kemerdekaan, De vlinders van Boven-Digoel mengingatkan kita bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mau mendengarkan kisah-kisah kecil, suara-suara yang ditindas, dan tidak lagi menjadikan kupu-kupu sebagai penjinakan, melainkan sebagai lambang kebebasan orang-orang kecil yang hidup dengan peluh perjuangan.