PAPUA BARAT ADALAH NEGARA MERDEKA & BERDAULAT YANG DIANEKSASI DENGAN MONCONG SENJATA OLEH BANGSA KOLONIAL MODERN INDONESIA PADA 19 DESEMBER 1961

Warta Tako
0


WEST PAPUA SUPPORT NETWORK

"Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yohanes 8:32).


Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman



1. PENDAHULUAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".


Fakta dan bukti KEBENARAN sejarah dan Undang-undang Dasar 1945  pasti memerdekakan rakyat dan bangsa Papua Barat. Yang menolak dan tidak setuju dengan 1 Desember 1961  adalah musuh sejarah dan musuh seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat yang mempunyai sejarah  membuktikan bahwa 1 Desember 1961 adalah Hari Kemerdekaan dan Kedaulatan yang dianeksasi oleh penguasa kolonial Indonesia dengan invasi militer. 


Yang menolak dan tidak setuju dengan 1 Desember 1961 adalah pendukung dan memperkuat posisi pemerintah Indonesia yang menentang dan menyatakan: 'Pemerintahan ilusi'.


Tanggal 1 Desember 1961 harus didukung karena ada  fakta dan bukti sejarah. Fakta dan bukti sejarah kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat 1 Desember 1961 yang dianeksasi penguasa kolonial Indonesia dengan maklumat Trikora 19 Desember 1961 harus diluruskan dan ditegakkan serta diperjuangkan untuk meraih hak politik rakyat dan bangsa Papua Barat. 



2. NEGARA DAN PEMERINTAHAN PAPUA BARAT ITU BENAR-BENAR ADA


Mari, ikuti fakta dan bukti sejarah bangsa Papua Barat sebagaimana dikutip di bawah ini. Pada 5 April 1961, orang-orang terdidik yang terpilih dari Niew Guinea Raad (Dewan Niew Guinea) menjadi anggota Parlemen Pertama penduduk orang asli Papua Barat yang bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh. 


Pada 19 Oktober 1961 Nieuw Guinea Raad mengadakan Kongres Nasional I Papua Barat di Hollandia yang menetapkan simbol-simbol bagi Negara Papua Barat, lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua", bendera nasional Papua Barat "Bintang Kejora" dan memutuskan nama official negara menjadi "West Papua", juga memutuskan bahwa tanggal 1 Desember 1961 sebagai hari pengibaran bendera Bintang Kejora.


Pemerintahan Kerajaan Belanda menerbitkan Governmentstablad van Nederland Nieuw Guinea tahun 1961 tanggal 18 November 1961 Nomor 68 mengenai Bendera Negeri berdasarkan Nomor Register 362 dan 366 tentang Bendera, dan Govermentstablad Nieuw Guinea tahun 1961 Nomor 69 mengenai Lagu Kebangsaan Negeri (Yoman:27).


Pernyataan-Pernyataan Politik dari anggota Dewan Perwakilan rakyat dan bangsa Papua Barat, sebagai berikut;


1. Markus Kaisiepo (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Biak)


"Proklamasi 17 Agustus 1945 yang selalu dipropagandakan oleh pihak Indonesia, yang selalu didengung-dengungkan sehingga menjadi alasan lemah/tipis dari kebanyakan orang yang belum tahu di belakang proklamasi itu. 


Sebab pada bulan April tahun 1944, tiap-tiap orang boleh lihat pada peringatan di Hamadi, Hollandia, dimana pada tahun itu tentara Sekutu-Amerika Serikat mendarat.  


Namanya Sekutu, tentu bukan saja Amerika Serikat, tapi termasuk Australia, Inggris, Netherland, dan sebagainya sudah pertama kali melepaskan Nieuw Guinea dari tangan Jepang. Jadi, kami mulai dari April 1944, sebetulnya kami sudah ada dalam tangan pemerintah sah, yaitu Pemerintah Netherland. 


Sudah berjalan satu tahun, sudah lebih dulu kami dilepaskan dari tindisan Jepang. Jelasnya, mulai April 1944 sampai dengan bulan April tahun 1945, saya sangka itu satu tahun. Lebih jauh lagi, tanggal 15 Agustus 1945 itu, Jepang menyerah. Jadi, proklamasi Indonesia berdiri satu tahun lebih di belakang dari kami bangsa Papua, sehingga kami kembali di dalam pangkuan pemerintah kami yang sah, yaitu Nederland.


Proklamasi Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jawa, itu hanya untuk Jawa sendiri. Indonesia Timur tidak tahu itu.  Sumatra tidak tahu tidak tahu itu. Borneo tidak tahu itu. Dan proklamasi itu yang disebut  Republik Indonesia untuk Jawa sendiri, ini yang tidak sah. Dan ini yang dilawan oleh pemerintah Nederland, dan juga dilawan oleh kebanyakan orang pandai dari bangsa Indonesia sendiri.


Tetapi soal-soal itu jalan, jadi saudara-saudara kami harus timbang dan kami  harus menunjukkan bukti-bukti menurut sejarah, sebab kita belajar dari sejarah, dari kejadian, kita tidak bisa persalahkan orang kalau kita tidak melihat bukti perjalannya. Kita pun tidak bisa membenarkan satu orang, kalau kita lihat bukti-buktinya secara baik dan benar (Griapon: 2007:9-10).


di waktu-waktu dulu, di muka Meja Bundar, ada propaganda dari pihak Indonesia: Jangan kamu orang Papua terima Nederland tinggal di situ, sebab tidak lama lagi dihapuskan kamu (musnahkan kamu--penulis). Ini kata-kata gertakan, jangan kami kaget cepat, kami mesti tahu pilih kami punya untung juga (Griapon, 2017:13).


Kalau kami masuk Indonesia waktu ini dengan kami punya kelemahan yang ada, kami tidak akan timbul lagi (bangkit/maju). Itu menurut saya, boleh jadi saya salah. Kami tidak akan timbul lagi, sebab potong rambut orang Indonesia oleh orang pintar, kami tidak akan diterima untuk potong rambut di sekitar kita, masak, dia lebih pintar masak, kami akan disuruh-suruh buat bawa-bawa rantang selama-lamanya.


Begitu juga kepada kami akan dituduh mencuri, kami belum mencuri sudah dutangkap. Mereka pintar, seperti minta-minta, kami bodoh minta-minta, kami orang Papua tidak tahu minta-minta. Kami akan minta mulai satu rupiah dan tidak dapat, sebab mereka pintar minta mulai dari satu sen....saya bicara bukan sebab bangsa Indonesia, saya hormati dia punya hak, saya suka dia merdeka, selamat buat dia. Belanda didik dia buat merdeka, apa sebab dia tidak mau kalau Belanda didik kita buat mereka? Kita ada hak. Hak ini saja kita lihat, jangan kita dipengaruhi oleh propaganda-propaganda yang muluk-muluk. (Griapon, 2007:38-39).


melalui beberapa konferensi: Malino, Denpasar, Linggardjati, Renville, datang kepada Meja Bundar tahun 1949, sudah diserahkan seluruh daerah Hindia Belanda di luar Nieuw Guinea. Nieuw Guinea tinggal di luar. Pada 2 November 1949, perjanjian itu ditandatangani dan kami yang turut untuk tahan supaya 

Nieuw Guinea supaya jangan salah masuk pintu, kami saksikan betul dan ada di dalam dokumen, siapapun boleh baca". (Griapon, 2007:11).



(2) Mohammad Achmat (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Radja Ampat)


"tentang manifesto Tuan Kaisepo dan kawan-kawannya serta surat permohonan dari Komite Nasional Papua tanggal 21 Oktober 1961, saya dengan ini mengucapkan pendapat saya;


Pertama, saya menyetujui nama Nederland-Nieuw Guinea harus diganti dengan Papua Barat


Kedua, saya menyetujui bahwa rakyat Papua Barat dinyatakan dengan nama Papua.


Ketiga, saya menyetujui lagu 'Hai Tanahku Papua' harus disahkan sebagai lagu kebangsaan dari bangsa Papua Barat" (Griapon:27).


"Mengenai bendera dan lambang nasional, saya berpendapat sebagai berikut:


Pertama, sesudah Nieuw Guinea Raad menyetujuinya, maka bendera dan lambang tersebut dibawa ke tiap-tiap daerah untuk diberi penerangan dan diperkuat pengakuan atasnya menjadi bendera dan lambang kebangsaan.


Kedua, bendera tersebut baru dapat dikibarkan, dinaikan pada hari kedaulatan penuh diserahkan kepada bangsa Papua dengan perantaraan PBB, maka bendera kita itu dapat dinaikkan di samping bendera PBB." (Griapon 2007:27).



(3) A.Gebze (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Merauke)


"Saya menyetujui maksud Komite Nasional Papua tentang kebangsaan kami supaya pemerintah dan negara-negara luar mengetahui dan sadar bahwa bangsa Papua Barat menolak pemerintah Indonesia dan mempertahankan pemerintah Nederland memimpin kami sampai kehendak kami, kesadaran kami, dan melengkapi kecakapan dan kemakmuran serta keamanan dan ketentraman. Dan kami berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kepada kami dan disitulah kami berkehendak menentukan nasib kami berdiri sendiri dan mengibarkan bendera kami". (Griapon, 2007:31).


(4) Tontje Meseth (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jayapura)


"Kami harus menyatakan bahwa di sini, di Tanah besar ini, kami ada, kami bangsa Papua ada. Tanah besar ini bukan satu Tanah yang kosong saja, tapi di sini ada satu Tanah dengan satu bangsa yang memang terdiri dari macam-macam suku dan bahasa, toh ada bangsa, yaitu bangsa Papua. 


Dan sampai sekarang begitu menjadi persengketaan terus-menerus berhubung Tanah ini dan nasib kami sendiri, sampai sekarang dalam PBB suara kami tidak ada di sana. Sampai sekarang, PBB belum tahu bahwa di Tanah ini masih ada satu bangsa tersendiri. Kami juga ada satu bangsa yang mau menentukan kami punya nasib sendiri. Kami juga ada satu bangsa yang mau berdiri merdeka sendiri, bebas sendiri, sebagaimana bangsa-bangsa lain di Asia dan di Afrika". (Griapon, 2007:43,45).


(5) Abdullah Arfan (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Radja Ampat/Fakfak).


"Saya mendengar tadi ada beberapa saudara mengeluarkan pendapat bahwa urusan atau usaha-usaha yang berhubungan dengan perbaikan nasib Tanah dan bangsa kita mesti dirundingkan dengan pihak Indonesia.


Saya sama sekali tidak setuju, karena mengingat sejarah dan sejarah perang sampai kepada masa-masa ini, membuktikan bagi kita bahwa tuntutan Indonesia itu sama sekali tidak berdasarkan kebenaran. Malah Indonesia mau menghidupkan kembali kekuasaan penjajahan kesultanan yang mana waktu itu bangsa kami dipakai alat saja, pendek kata diperbudak. Saat itu, orang-orang tua di Radja Ampat mencari jalan sehingga mengambil hubungan dengan Zending, berhubungan dengan Bestuur" (Griapon, 2007:57).


"Dalam beberapa waktu kemudian, bangsa kami selangkah demi selangkah sudah dipimpin kearah kemajuan rohani dan jasmani. Dari pengalaman itu, buat itu, buat saya, saya rasa sebenarnya tidak adil lagi, kalau kita mesti pandang lagi kepada Indonesia sebagai satu orang yang perlu kita merundingkan lebih jauh, karena sudah nyata dan sudah terbukti bagi kita, beberapa peristiwa yang belakangan ini. Satu bukti yang dekat sekali, itu baru-baru dengan kedatangan penyelundup-penyelundup yang datang ke Raja Ampat terus ke Sorong, berniat hendak merusakkan kami punya keamanan dan kesejahteraan. Ini satu bukti yang dekat sekali. Berarti kami punya hak kebangsaan dan hak sebagai manusia tidak sama sekali diindahkan" (Griapon, 2007:57).



(6) Baldus Mofu (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Biak Noemfoor)


"Memang, dari panggilan Tanah ini, kalau kita menyelidiki sejarah Papua sudah lebih dulu sebelum Indonesia memproklamasikan. Pada tahun 1942, sebagai sejarah yang terpendam, yang diinjak-injak dan tidak berharga, itu sebagai satu pisau tua yang tinggal berkarat saja. Bagi kaum nasionalis yang bergerak pada waktu itu juga ada menyatakan dirinya sebagai satu bagian daerah yang bermusuhan dengan Jepang. 


Oleh karena itu, yang menyebutkan dirinya daerahnya itu dari Sorong sampai Hollandia dan Merauke. Pada waktu Indonesia memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945, dan kami pada tahun 1942 sudah memulai, dengan tegas saya menyatakan bahwa Tanah ini mendapat panggilan dan jalannya sendiri. Itu kehendak untuk bebas sendiri, berdiri sendiri!" (Griapon, 2007:60).


(7) Penehas Torey (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Teluk Wondama)


"Menurut saya, kalau ada usulan untuk pemakaian bahasa, saya pikir bahwa bahasa Inggris adalah lebih gampang untuk menjadi bahasa pengantar di sini daripada bahasa Indonesia. Nanti bahasa Indonesia akan menjadi bahasa pengantar yang kedua. 


Sebab kalau kami memandang ke dunia sekarang, maka bahasa Inggrislah yang di mana-mana ada laku, apalagi saudara-saudara kami di sebelah timur (PNG) Tanah ini ada memakai bahasa itu sebagai bahasa pengantar dan siapa tahu waktu datang keadaan politik akan berubah dan kami akan menjadi satu". (Griapon, 2007:63).


(8) Bertus Burwos (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Manokwari) 


"Memang pada dewasa ini,  betapa gemparnya sekeliling tanah kita karena siaran radio yang kami sudah dengar. Yang hadir di sini sebagian besar menyetujuinya juga Manifesto yang sudah dikeluarkan oleh Komite Nasional Papua di Hollandia. Seperti tadi anggota yang terhormat Tuan Gosewisch sudah katakan, bahwa di Manokwari tiga partai politik EPANG, PONG, dan PARSEPP, sudah setuju dengan isi manifesto ini. ..." (Griapon, 2007:67).


Prof. Dr. Pieter Drooglever dalam penelitiannya tentang hasil Pepera 1969 di Papua Barat yang diumumkan di Belanda pada 15 November 2005 membenarkan pembentukan Negara Papua Barat:


"Pembentukan Dewan New Guinea dilakukan dengan persiapan yang cermat dengan tujuan agar badan politik ini memiliki tingkat keterwakilan sebaik mungkin. Penetapan bendera dan lagu berlangsung lebih cepat. Inisiatifnya sepenuhnya berasal dari pihak orang-orang Papua, tetapi kemudian diterima oleh penguasa Belanda. Dan secara mengejutkan, bendera dan lagu itu dengan cepat disahkan dalam satu ordinasi (undang-undang).  Harus diingat, bahwa peristiwa ini terjadi ketika Lunz berusaha, namun gagal, untuk menjual idenya itu kepada PBB. Pengibaran bendera pertama kali dilakukan pada 1 Desember 1961 yang disambut dengan sukacita di mana-mana. Orang-orang Papua di bagian Barat New Guinea ini sekarang memiliki simbol-simbol identitas mereka  yang diterima secara luas. Tidak saja Papua memiliki pemahaman seperti itu, tapi juga Jakarta".


Negara Papua Barat didirikan pada 1 Desember 1961 yang lengkap dengan simbol-simbol atau alat kelengkapan Negara: Ada wilayah, ada rakyat, ada parlemen New Guinea Raat,  Lagu Hai Tanahku Papua, bendera Bintang Kejora, mata uang: Gulden, Lambang Negara: Burung Mambruk. 



3.  ADA 5 NEGARA HADIR PADA 1 DESEMBER 1961



Fakta Sejarah mencatat,  pada 1 Desember 1961 pernah hadir Pemerintah Inggris, Prancis, Australia, Belanda, perwakilan Parlemen PNG"



4. BANGSA PAPUA BARAT HARUS BANGKIT MERAIH KEMBALI KEMERDEKAAN 1 DESEMBER 1961


Rakyat dan bangsa Papua Barat harus berkomitmen dan berjuang untuk meraih kembali kemerdekaan 1 Desember 1961 yang dianeksasi oleh penguasa kolonial modern Indonesia dengan moncong senjata.


Rakyat dan bangsa Papua Barat harus sepakat bahwa deklarasi Pemerintahan Sementara pada 1 Desember 2020 tidak berdiri sendiri dari seluruh proses dan dinamika perjuangan politik untuk meraih kembali Kemerdekaan dan Kedaulatan 1 Desember 1961.


Pemerintah Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat saat ini tidak boleh kaburkan seluruh dinamika sejarah politik dari waktu ke waktu dalam upaya rakyat dan bangsa Papua Barat untuk meraih kembali kemerdekaan dan kedaulatan yang dianeksasi dan dibubarkan oleh Ir. Sukarno pada 19 Desember 1961.


Hon. Benny Wenda Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat tegakkan, merawat, memelihara, mengembalikan dan memperkuat pernyataan Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999. 


"....dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia,  bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:


Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi." 


Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggung jawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.


Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;


(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);


(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.


Hon. Benny Wenda Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat juga memperkuat hasil MUSYAWARAH BESAR (MUBES) 23-26 Februari 2000. 


Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:


"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."


Hon. Benny Wenda Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat mendukung hasil Kongres Nasional II rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei - 4 Juni 2000.


Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:


1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.


2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.


3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. 


4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.


5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.


6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.


Hon. Benny Wenda Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat menguatkan Kongres Rakyat Papua Barat yang ke-3 di Lapangan Zakeus Padang bulan pada 17-19  Oktober 2011. 


Doa dan harapan saya, tulisan kecil ini berguna bagi para pembaca. 


Terima kasih. 


Ita Wakhu Purom,  30 November 2023



1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 

2. Anggota: Dewan Gereja Papua

 (WPCC).

3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC). 

4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

____


Kontak: 08124888458//08128888712


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)