Cinta di Kampus Biru (Cerpen)

Warta Tako
2 minute read
0

Infografis Cinta Yang Mempersatukan

 JAYAPURA, 7 April 2025, Neles tiba di Jayapura dengan hati membara. Ia datang dari pegunungan Paniai, meninggalkan honai dan lembah untuk mengejar ilmu di Universitas Cenderawasih. Di pundaknya tergantung noken buatan mama, di dadanya tersimpan semangat dari tanah leluhur.


Sinta sudah lebih dulu di sana. Anak Nabire, gadis pesisir yang dikenal ramah, aktif di organisasi, dan suka tersenyum meski hatinya kadang lelah. Ia pandai bicara, pintar menari Yospan, dan selalu membawa suasana hangat ke mana pun ia pergi.


Mereka bertemu di forum diskusi kampus. Tema: “Adat dan Masa Depan Papua.” Suasana panas. “Orang gunung terlalu kaku, terlalu keras,” kata Sinta di depan forum. “Orang pantai terlalu banyak bicara, terlalu manja,” balas Neles dari ujung ruangan.


Seisi aula tegang. Tapi pertemuan pertama itu jadi awal dari banyak pertemuan lain di kelas, di kantin, di kegiatan kampus. Dari perdebatan, jadi obrolan. Dari obrolan, jadi candaan. Dan tanpa sadar, tawa mereka mulai saling mencari.


Neles kagum pada kelembutan Sinta, pada keteguhannya membela sesuatu dengan tenang. Sinta tak bisa menolak ketulusan Neles yang meski tampak keras, selalu siap menolong siapa pun.


Cinta tumbuh di sela-sela buku, tugas, dan senja di belakang kampus. Namun saat hubungan mereka mulai serius, badai datang. Keluarga dari kedua belah pihak menolak.

“Kalian beda suku, beda adat, beda cara hidup!” “Tidak akan bisa satu. Gunung dan laut tak bisa menyatu!”


Neles terpukul, tapi tidak mundur. Ia menatap Sinta dan berkata, “Kalau kita menyerah hanya karena berbeda, lalu bagaimana Papua bisa jadi satu?”


Sinta menitikkan air mata, tapi bukan karena lemah karena yakin. “Aku tidak mencintaimu karena kamu sama denganku. Tapi karena kamu mengajarkanku arti menerima.”


Dengan restu sebagian, dan penolakan sebagian lainnya, mereka tetap menikah. Pernikahan sederhana, tapi sarat makna. Di satu sisi halaman, berdiri honai kecil. Di sisi lain, tenda-tenda anyaman daun kelapa. Musik perang bertemu lagu dari ukulele. Tarian gunung bertemu Yospan. Bakar batu dengan ikan laut jadi lambang bersatunya dua dunia.


Hari itu, semua yang hadir melihat lebih dari sekadar pernikahan dua anak muda. Mereka melihat pesan kuat: Bahwa Papua tak hanya bisa bersatu, tapi memang harus bersatu.


Setelah menikah, Neles dan Sinta pulang ke Nabire. Mereka mulai proyek kecil mengajar anak-anak di gunung dan pantai, mengenalkan bahasa satu sama lain, budaya satu sama lain. Mereka ingin tunjukkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk membenci, tapi alasan untuk saling belajar.


Dan di setiap kelas kecil yang mereka isi, di setiap kampung yang mereka datangi, mereka selalu berkata: “Kami mungkin lahir dari adat yang berbeda, tapi kami memilih masa depan yang sama Papua yang bersatu.” Apa pesan moral dari cerpen ini menurut kalian???


Penulis Oleh M.Y

Warta Tako


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)
April 27, 2025