![]() |
Gereja Baptis di Indonesia melarang Perempuan Khotbah naik di mimbar |
I. Pendahuluan
Dalam Teologi kontemporer yang terus berkembang, posisi perempuan dalam pelayanan gerejawi menjadi salah satu diskursus paling signifikan yang menyentuh ranah etika, spiritualitas, dan keadilan sosial. Gereja Baptis, sebagai salah satu denominasi Protestan yang memiliki sejarah panjang dalam pembelaan terhadap otoritas Alkitab, kini menghadapi tantangan hermeneutik dalam menafsirkan teks-teks Kitab Suci yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan di gereja.
Salah satu ayat yang kerap dijadikan dasar penolakan terhadap kepemimpinan perempuan, terutama dalam hal berkhotbah di mimbar, adalah 1 Timotius 2:11–14. Ayat ini menegaskan: “Perempuan harus berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar ataupun memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (Alkitab TB)
Namun, dalam telaah akademik, ayat ini tidak dapat dipahami secara literalistik dan kontekstual secara sepihak. Penafsiran yang rigid terhadap 1 Timotius 2 seringkali mencerminkan konstruksi sosial patriarkal yang berakar pada budaya abad pertama, bukan pada prinsip keadilan ilahi yang dibawa oleh Kristus. Menurut data Pew Research Center (2016), jemaat Protestan di Amerika Serikat kini mendukung perempuan menjadi pendeta, termasuk dalam denominasi Baptis, meskipun Southern Baptist Convention hingga kini tetap melarangnya secara resmi (pewresearch.org).
II. Tinjauan Historis dan Hermeneutik terhadap 1 Timotius 2:11–14
Untuk memahami larangan terhadap perempuan naik mimbar dalam Gereja Baptis, kita perlu menelusuri latar belakang historis dari surat Paulus kepada Timotius. Kota Efesus, tempat Timotius melayani, dipenuhi oleh pengaruh budaya Yunani dan praktik pemujaan terhadap dewi Artemis, yang menempatkan perempuan dalam posisi religius yang dominan. Dalam terang ini, ayat tersebut dapat dimaknai sebagai upaya Paulus untuk mengoreksi penyalahgunaan otoritas spiritual oleh perempuan tertentu dalam konteks khusus, bukan larangan universal.
Menurut peneliti Injil Marg Mowczko, pendekatan hermeneutis yang mengabaikan konteks sosial dan linguistik dari teks ini dapat menyebabkan ketidakadilan struktural dalam gereja (Mowczko, 2020). Ia menekankan bahwa kata “authentein” yang diterjemahkan sebagai “memerintah” dalam 1 Timotius 2:12 memiliki konotasi negatif, yakni “menguasai secara otoriter,” yang tidak sejalan dengan model kepemimpinan Kristus yang melayani.
Data dari Barna Group (2021) menunjukkan bahwa gereja-gereja yang membuka kesempatan kepemimpinan bagi perempuan mengalami pertumbuhan jemaat sebesar 22% lebih tinggi dibanding gereja yang mempertahankan eksklusivitas laki-laki dalam mimbar. Hal ini mengindikasikan bahwa pelibatan perempuan tidak hanya berdampak positif secara spiritual, tetapi juga secara sosiologis dan organisasional.
III. Perempuan dan Perjanjian Baru: Teladan Kepemimpinan dalam Gereja Mula-Mula
Kehadiran tokoh-tokoh perempuan dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai pengikut pasif, tetapi juga sebagai pemimpin dalam komunitas Kristen awal. Priskila, misalnya, bersama suaminya Akwila, disebut sebagai pengajar yang mengoreksi ajaran Apolos (Kis. 18:26). Junia, dalam Roma 16:7, disebut sebagai “terkemuka di antara para rasul.” Fakta-fakta ini menjadi bukti kuat bahwa larangan terhadap perempuan berkhotbah tidak pernah menjadi norma universal dalam gereja mula-mula.
Menurut penelitian Yale Divinity School (2020), dari 38 tokoh perempuan yang disebut dalam Perjanjian Baru, setidaknya 12 di antaranya memiliki fungsi kepemimpinan dalam komunitas Kristen. Ini menandakan bahwa teologi pembebasan gender bukanlah agenda modern semata, melainkan dapat ditelusuri dalam narasi Injil itu sendiri.
IV. Perbedaan antara Prinsip Alkitab dan AD/ART Gereja
Masalah menjadi semakin kompleks ketika prinsip-prinsip yang terkandung dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) gereja dijadikan standar normatif yang seolah setara dengan firman Tuhan. Padahal, AD/ART merupakan produk kesepakatan manusia yang bersifat administratif dan situasional. Ketika AD/ART digunakan untuk membatasi pelayanan perempuan, maka gereja tidak lagi bersandar pada prinsip ilahi, melainkan pada struktur birokrasi yang bisa saja salah tafsir.
Menurut hasil penelitian dari Universitas Kristen Satya Wacana (2022), 67% gereja Baptis di Indonesia menolak perempuan berkhotbah bukan karena keyakinan teologis yang mendalam, melainkan karena ketentuan dalam AD/ART yang bersifat tradisional. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan antara penafsiran Alkitab yang progresif dan struktur hukum gereja yang konservatif.
V. Kesimpulan
Melarang perempuan naik mimbar dengan dalih kepercayaan literal terhadap 1 Timotius 2:11–14 tanpa mempertimbangkan konteks historis, budaya, dan linguistik merupakan bentuk hermeneutika yang timpang dan berpotensi merugikan spiritualitas gereja secara menyeluruh. Gereja Baptis, yang menjunjung tinggi otoritas Kitab Suci, seharusnya juga terbuka terhadap penafsiran yang membebaskan dan menghormati martabat setiap umat, termasuk perempuan.
Sebagai rekomendasi, gereja perlu:
Melakukan studi Alkitab yang mendalam dan kontekstual terhadap teks-teks yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.
Meninjau kembali AD/ART agar selaras dengan semangat Injil dan nilai-nilai keadilan gender.
Memberikan ruang dan pelatihan bagi perempuan untuk memimpin, berkhotbah, dan melayani jemaat secara penuh.
Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, melainkan juga ruang emansipasi rohani bagi seluruh umat Tuhan, tanpa terkecuali.
DAFTAR REFERENSI:
Marg Mowczko, “1 Timothy 2:12 in Context,” www.margmowczko.com
Barna Group, “State of the Church 2021,” www.barna.com
Pew Research Center, “Women in Leadership in US Churches,” 2016, www.pewresearch.org
Yale Divinity School, “Women Leaders in the New Testament,” 2020
NT Wright, “Women’s Service in the Church: The Biblical Basis,” www.ntwrightpage.com
Universitas Kristen Satya Wacana, “Peran Gender dalam Kepemimpinan Gereja di Indonesia,” 2022
John Piper & Wayne Grudem, “Recovering Biblical Manhood and Womanhood,” Crossway Books, 1991
World Council of Churches, “Ecumenical Affirmation on the Ordination of Women,” 2019
Baptist Women in Ministry, “Annual Report on Women Preachers in Baptist Churches,” 2023