![]() |
Infografis Mahasiswa Papua Tolak di Jakarta dan Sukses di Papua |
JAYAPURA, 5 April 2025, Seorang Mahasiswa Asal Papua berbagai pengalaman melalui tulisan cerita pendek, ia bernama Mika berdiri di depan gedung perkantoran di Jakarta, menggenggam map berisi ijazah dan sertifikatnya.
Ia baru saja keluar dari wawancara kerja yang kesekian kalinya. Wajahnya penuh harap, tapi dalam hatinya ia tahu, jawabannya pasti sama seperti yang sebelumnya.
“Kami menghargai kemampuan Anda, tapi maaf, kami sudah menemukan kandidat lain.”
Sudah lebih dari lima perusahaan yang ia lamar, dan semua menolak. Bukan karena kurangnya keterampilan—Mika lulus dengan predikat terbaik dari universitas ternama—tetapi karena warna kulitnya yang hitam dan rambutnya yang keriting.
Di salah satu wawancara, seorang manajer HR bahkan berbisik pelan, “Kami butuh seseorang yang berpenampilan lebih... profesional.” Kata-kata itu menusuk hati Mika. Apakah kulit dan rambutnya bukan bagian dari profesionalisme?
Hari-hari berlalu dengan penolakan demi penolakan. Mika mulai merasa Jakarta bukan tempatnya. Bukan karena ia tidak mampu bersaing, tetapi karena kota ini masih memandang seseorang dari warna kulit, bukan dari isi kepalanya.
Akhirnya, dengan berat hati, ia pulang ke Papua.
Bangkit dari Nol
Di Jayapura, Mika tidak mau menyerah. Jika Jakarta tidak menerima dirinya, maka ia akan menciptakan jalannya sendiri. Dengan sisa tabungan yang ia miliki, ia mulai merintis usaha kecil di bidang kuliner—usaha katering khas Papua.
Ia memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan masakannya, mengenalkan cita rasa khas Papua kepada masyarakat luas. Lambat laun, usahanya berkembang. Banyak orang tertarik mencicipi hidangan buatannya, dari papeda, ikan kuah kuning, hingga sagu bakar.
Tidak hanya itu, Mika juga membuka kesempatan kerja bagi pemuda-pemudi Papua yang mengalami kesulitan serupa sepertinya. Ia ingin menciptakan lingkungan di mana keterampilan dan kerja keras lebih dihargai daripada sekadar penampilan.
Dalam waktu tiga tahun, usaha Mika berkembang pesat. Dari satu dapur kecil, kini ia memiliki beberapa cabang restoran di Jayapura dan sekitarnya. Ia juga mulai menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk membawa kuliner Papua ke luar daerah.
Kembali ke Jakarta, Tapi Berbeda
Suatu hari, Mika diundang ke Jakarta untuk menjadi pembicara di sebuah seminar kewirausahaan. Kali ini, ia bukan lagi seorang pencari kerja yang ditolak. Ia datang sebagai seorang pengusaha sukses dari Papua.
Saat ia melangkah masuk ke ruangan seminar, beberapa wajah yang dulu memandangnya sebelah mata kini menatapnya dengan kagum. Tapi Mika tidak menyimpan dendam. Ia hanya tersenyum, karena ia tahu, ia telah membuktikan sesuatu—bahwa dirinya lebih besar dari semua penolakan yang pernah ia terima.
Mika menatap para peserta seminar dan berkata, “Dulu saya pernah ditolak di kota ini, bukan karena saya tidak mampu, tetapi karena kulit saya. Tapi saya memilih untuk tidak menyerah. Saya kembali ke tanah saya, membangun usaha saya sendiri, dan kini saya kembali ke sini bukan sebagai pencari kerja, tapi sebagai pencipta lapangan kerja.”
Ruangan itu hening. Lalu tepuk tangan menggema. Mika telah membuktikan bahwa kesuksesan tidak ditentukan oleh warna kulit, tetapi oleh ketekunan, keyakinan, dan kerja keras.
Papua telah membesarkannya. Dan kini, ia kembali untuk membesarkan Papua.
Cerita ini Penulis
Oleh M. Yoman