![]() |
Infografik about |
PAPUA Kam,04/09/2025 - Bangsa Papua hari ini berdiri di persimpangan sejarah yang genting. Setiap desa, setiap kampung, setiap komunitas menyimpan kisah perjuangan yang panjang: tentang tanah yang dirampas, identitas yang dipertanyakan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri yang terus diperjuangkan. Namun, di tengah gejolak ini, ada sesuatu yang lebih sunyi dan memilukan—suara bijak Papua sering tenggelam, hilang di tengah kebisingan opini publik yang dangkal.
Mereka yang paling memahami sejarah bangsa ini, yang telah mengarungi pahit-manis perjuangan, yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, sering memilih bungkam. Alasannya bisa sederhana: rendah hati, merasa tidak didengar, atau enggan terlibat dalam hiruk pikuk debat yang tak berujung. Sementara itu, mereka yang miskin pemahaman, dangkal logikanya, dan tak memahami akar permasalahan justru berteriak paling keras. Kata-kata mereka menggema, menutupi suara yang seharusnya menjadi lentera bagi bangsa Papua, meski kenyataannya kosong makna.
Fenomena ini tak hanya terjadi di ruang nyata. Media sosial, panggung utama opini publik masa kini, sering menghargai volume daripada substansi. Orang yang pandai bersuara tanpa dasar pengetahuan dapat menarik perhatian, bahkan memengaruhi banyak orang, sementara suara jernih dari para bijak terkadang terpinggirkan oleh algoritma dan ketidakpedulian. Akibatnya, opini publik tentang Papua terbentuk bukan oleh kebenaran, tetapi oleh siapa yang paling keras, siapa yang paling banyak pengikutnya, tanpa peduli apakah apa yang mereka katakan benar atau tidak.
George Bernard Shaw pernah menegaskan: diam bisa menjadi kebajikan, tetapi dalam dunia yang dilanda kebisingan, informasi palsu, dan wacana kosong, diam berarti menyerahkan panggung kepada kebodohan. Bagi orang-orang berpengetahuan, keberanian untuk berbicara dengan jernih dan berlandaskan kebenaran bukan sekadar pilihan—itu adalah kewajiban moral.
Bangsa Papua tidak kekurangan orang cerdas, berpengalaman, atau bijaksana. Yang kurang hanyalah keberanian untuk bersuara di tengah kebisingan. Suara itu harus terdengar—di media, di forum publik, di ruang digital—agar rakyat Papua tahu arah, agar kebenaran menembus tirai kebohongan, dan agar perjuangan yang diwariskan oleh leluhur tidak tersesat dalam riuhnya opini semu.
Sekaranglah saatnya para pemimpin intelektual, tokoh adat, akademisi, dan aktivis Papua menyalakan kembali lentera pengetahuan. Bukan untuk bersaing dengan kebisingan, tetapi untuk memberikan cahaya bagi setiap hati yang mencari keadilan, kebenaran, dan masa depan yang layak bagi bangsa Papua. Jangan biarkan kebodohan menjadi arus utama. Biarlah suara bijak menjadi pelita di jalan panjang Papua menuju keadilan dan pengakuan haknya.
Warta Tako
Sumber:Awi wiyai fadjar Timur