Kontrak Freeport Bikin Repot "Penghisapan Ibu Bumi di Tanah Papua"

Warta Tako
2 minute read
0

 

Infografis Seputar PT. Freeport Indonesia 


JAYAPURA,Tanggal 7 April 1967 menjadi tonggak sejarah yang kelam dalam perjalanan bangsa, khususnya bagi rakyat Papua. Di hari itu, ditandatanganilah Kontrak Karya pertama antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat. Perjanjian ini bukan hanya menjadi simbol penyerahan kekayaan alam bangsa kepada pihak asing, tetapi juga awal dari derita panjang masyarakat adat Papua.


Grasberg, Freeport dan Jejak Imperialisme


Ketika nama "Grasberg" disebut, banyak yang langsung teringat pada tambang emas terbesar di dunia. Namun, di balik gemerlap emas yang terkandung di perut bumi Papua itu, tersembunyi kisah pilu penindasan, eksploitasi, dan penjajahan gaya baru. Tambang ini bukan sekadar tempat penggalian, melainkan simbol dari kongkalikong kekuasaan antara rezim Orde Baru Soeharto dan kepentingan kapitalis Amerika Serikat yang menggambarkan wajah imperialisme Barat di Indonesia.


Papua: Kaya Alam, Tapi Rakyat Menderita


Sebelum penandatanganan Kontrak Karya, rakyat Papua telah mengalami tekanan berat sejak aneksasi wilayahnya oleh Indonesia lewat Perjanjian New York 1962 dan PEPERA 1969. Mereka tidak diberi ruang untuk menentukan nasib sendiri. Tanpa persetujuan masyarakat adat, tanah leluhur mereka dijadikan ladang eksploitasi. Tidak hanya tidak mendapat emas, hak ulayat pun diabaikan. Pipa-pipa ditancapkan ke perut bumi, emas disedot, dan keuntungan dialirkan ke kantong para elit—baik lokal maupun global.


Penemuan Tambang: Sebuah Manipulasi Awal


Tambang emas di Gunung Ertsberg pertama kali ditemukan pada 1936 oleh Jean Jacques Dozy, namun temuannya sengaja disembunyikan. Laporan aslinya dikunci di perpustakaan Belanda, sementara laporan palsu diserahkan ke perusahaan minyak. Baru pada 1959, laporan itu ditemukan kembali oleh Jan van Gruisen, yang kemudian membawa informasi tersebut ke perusahaan tambang Amerika, Freeport Sulphur.


Kontrak Tanpa Kedaulatan


Kontrak Karya Freeport ditandatangani hanya tiga minggu setelah Soeharto resmi menjadi presiden. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pun menjadi pintu legal untuk mengundang korporasi asing mengeruk kekayaan alam Indonesia, khususnya Papua. Anehnya, kontrak ini dilakukan dua tahun sebelum PEPERA, di saat status hukum Papua masih menjadi perdebatan internasional. Ini bukan hanya inkonsistensi hukum, tapi juga bentuk perampasan atas kedaulatan wilayah dan hak-hak masyarakat Papua.


Penghisapan yang Sistematis


Lisa Pease dalam bukunya menulis, “Mereka ini tidak lebih baik daripada seekor lintah.” Kalimat ini merujuk pada perusahaan-perusahaan yang rakus akan sumber daya alam tanpa mempedulikan keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Hingga tambang Grasberg resmi berhenti beroperasi pada 2020 karena kandungan emasnya habis, masyarakat Papua tidak pernah benar-benar merasakan hasil kekayaan alam mereka sendiri. Bahkan ketika Indonesia mengambil alih lebih dari 50% saham Freeport, itu pun tidak mengubah banyak hal bagi rakyat Papua.


Rekonsiliasi atau Rekayasa?


Masyarakat Papua tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin diakui haknya, ingin hidup damai tanpa rasa takut diculik, ditangkap, atau dihilangkan. Seperti yang pernah diucapkan almarhum Filep Karma, “Sejahtera untuk orang asli Papua bukan diukur dari makan, minum, pakaian dan sebagainya. Akan tetapi, hati itu merasa damai.”


Penutup 

Keadilan untuk Papua Sudah waktunya kita bertanya: apakah kemerdekaan telah benar-benar dinikmati oleh seluruh bangsa, termasuk Papua? Jika jawabannya belum, maka kita harus terus mengingatkan diri akan kutipan dalam Pembukaan UUD 1945: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Papua tidak butuh tambang. Papua butuh keadilan.


Warta Tako 

Sumber : mediapapua



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)
April 19, 2025