![]() |
Karya lukisan seniman Papua, Saudara Yanto Gombo, menjadi salah satu manifestasi visual yang menyentuh ranah politik, kemanusiaan, dan sejarah kolonialisme |
Kata Pengantar
Dalam dunia seni rupa kontemporer, karya visual tidak hanya berfungsi sebagai medium ekspresi estetika, melainkan juga sebagai wahana penting untuk menyuarakan realitas sosial yang kompleks. Karya lukisan seniman Papua, Saudara Yanto Gombo, menjadi salah satu manifestasi visual yang menyentuh ranah politik, kemanusiaan, dan sejarah kolonialisme. Melalui pendekatan hermeneutik visual, tulisan ini bertujuan untuk mengurai simbolisme yang terkandung dalam karya tersebut, serta mengaitkannya dengan kondisi sosial-politik yang berlangsung di Tanah Papua saat ini.
I. Simbolisme Visual Wajah, Tentakel, dan Kursi sebagai Representasi Sosio-Politik
Dalam karya Yanto Gombo, wajah manusia menjadi pusat atensi visual. Wajah ini tak sekadar representasi rupa, melainkan simbol dari keberadaan manusia Papua yang selama berdekade-dekade mengalami marjinalisasi. Ekspresi wajah yang murung, dengan mata yang tampak kosong dan bibir yang terkatup rapat, mencerminkan kondisi psikologis kolektif masyarakat Papua yang hidup di bawah tekanan struktural. Menurut Amnesty International (2018), lebih dari 100 kasus kekerasan negara terhadap warga sipil Papua terjadi antara tahun 2010–2018, yang sebagian besar tidak pernah dibawa ke ranah hukum.
Tentakel yang menjulur dari kepala wajah tersebut dapat dimaknai sebagai metafora dari kekuatan hegemonik yang menyusup dan mengendalikan secara sistemik. Dalam teori kekuasaan Foucault (1977), kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif membentuk identitas, perilaku, dan bahkan cara berpikir subjek. Tentakel ini menjelma menjadi lambang dari struktur kekuasaan yang tidak kasat mata: militerisme, korporasi ekstraktif, dan birokrasi negara yang terdesentralisasi tetapi tetap melakukan kontrol vertikal.
Kursi yang menopang wajah dalam posisi yang tampak statis dan terperangkap menyimbolkan ambiguitas kekuasaan. Secara simbolik, kursi sering dikaitkan dengan otoritas dan kendali. Namun, dalam hal ini, kursi justru menjadi penjara simbolis bagi individu yang duduk di atasnya. Artinya, kekuasaan yang dimiliki bukanlah bentuk emansipasi, melainkan jebakan yang membuat individu tersubordinasi oleh sistem yang lebih besar.
II. Konteks Historis dan Sosial Papua dalam Bayang-Bayang Kolonialisme Baru
Papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun secara sosio-ekonomi, wilayah ini justru menempati peringkat terbawah dalam berbagai indikator pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua tercatat hanya 61,39, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 72,91. Ketimpangan ini merupakan warisan dari sejarah panjang kolonialisme dan eksploitasi yang bertransformasi menjadi bentuk-bentuk baru kolonialisme internal.
Sejumlah studi antropologis dan politik menyatakan bahwa pengalaman masyarakat Papua tidak dapat dipisahkan dari sejarah intervensi kekuasaan negara dan korporasi. Dalam karya akademik oleh Kirksey dan Povinelli (2012), disebutkan bahwa Papua telah menjadi korban dari “kehidupan yang dapat dibuang” (disposable life), di mana keberadaan penduduk asli dianggap tidak penting dalam logika kapitalisme ekstraktif. Di sinilah karya Yanto Gombo menjadi relevan: ia tidak hanya merepresentasikan penderitaan, melainkan juga menuntut pengakuan atas hak identitas dan martabat manusia Papua.
III. Identitas, Representasi, dan Politik Visual
Wajah dalam karya Gombo adalah wajah yang menatap audiens dengan diam, namun penuh makna. Ia adalah wajah dari mereka yang tidak pernah diundang dalam meja negosiasi kekuasaan. Dalam politik representasi, seperti yang dikemukakan Stuart Hall (1997), identitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan kontestatif dan dibentuk dalam relasi kuasa. Karya ini menjadi bentuk perlawanan visual terhadap praktik “silencing” praktik membungkam suara mereka yang dianggap tidak penting oleh narasi dominan.
Lebih lanjut, karya ini dapat dilihat sebagai contoh dari “seni perlawanan” (art of resistance), di mana seniman tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga mengintervensi cara berpikir publik. Pada tahun 2022, survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa hanya masyarakat Indonesia yang mengetahui secara mendalam situasi konflik di Papua. Ini menunjukkan bahwa narasi dominan telah gagal memberikan ruang bagi suara-suara alternatif dari Papua.
IV. Kesimpulan
Seruan untuk Keadilan dan Kesadaran Kolektif. Karya Yanto Gombo bukan sekadar representasi visual yang menggugah secara estetika, tetapi juga merupakan refleksi mendalam atas ketimpangan struktural dan politik ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua. Dengan mengintegrasikan simbolisme yang kuat wajah manusia yang menderita, tentakel kekuasaan yang menjerat, dan kursi kekuasaan yang paradoksal lukisan ini merangkum kompleksitas relasi antara individu dan struktur hegemonik.
Oleh karena itu, karya ini perlu dibaca sebagai bentuk perlawanan epistemik dan ajakan untuk merevisi cara kita memahami Papua. Dalam konteks ini, seni menjadi medium yang tidak hanya estetis, tetapi juga etis dan politis. Sebagaimana disampaikan oleh bell hooks (1995), seni memiliki potensi untuk menjadi alat transformasi sosial. Maka, karya Gombo adalah seruan visual yang mengajak kita untuk tidak lagi memandang Papua dari lensa eksotis semata, melainkan dari lensa keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas.
Daftar Referensi :
- Amnesty International. (2018). "Don't bother, just let him die": Killing with impunity in Papua. https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/8158/2018/en/
- Badan Pusat Statistik. (2023). Indeks Pembangunan Manusia. https://www.bps.go.id/indicator/26/494/1/indeks-pembangunan-manusia.html
- Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
- Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.
- hooks, bell. (1995). Art on My Mind: Visual Politics.
- Kirksey, E. & Povinelli, E. (2012). The Multispecies Salon: Introduction.
- SMRC (2022). Persepsi Publik tentang
Konflik Papua. https://www.smrc.co.id/